Perjalanan Pulang Bertahap dari Kamp Suriah di Wilayah SDF - Berita Ronggur Ni Huta

Post Top Ad

Perjalanan Pulang Bertahap dari Kamp Suriah di Wilayah SDF

Perjalanan Pulang Bertahap dari Kamp Suriah di Wilayah SDF

Share This

Video terbaru berjudul “انطلاق الرحلة الثانية للعودة الطوعية لقاطني مخيم المحمودلي في الطبقة باتجاه مناطقهم” menggambarkan wajah lain dari kehidupan pengungsi internal Suriah. Diunggah pada 21 September 2025, rekaman itu memperlihatkan bagaimana penghuni kamp Al-Mahmoudli di Al-Tabqa di wilayah SDF Suirah dipulangkan melalui konvoi resmi yang terkoordinasi. Fenomena ini menyoroti perbedaan nyata antara kamp pengungsi yang tertata dengan baik dan kamp lain yang dibiarkan mengatur kepulangan sendiri.

Dalam rekaman berdurasi lebih dari dua menit itu, kamera menyorot keberangkatan 15 keluarga dari kamp Al-Mahmoudli. Mereka naik kendaraan khusus menuju desa dan kota asal mereka, dengan tujuan Deir ez-Zor, Aleppo, Hama, hingga Homs. Adegan itu menunjukkan bagaimana kepulangan bisa diatur secara aman dan bermartabat bila ada dukungan organisasi kemanusiaan.

Kamp Al-Mahmoudli sebelumnya menampung sekitar 1.900 keluarga. Namun sejak kondisi di sejumlah wilayah Suriah relatif stabil, banyak warga mulai mendaftarkan diri untuk kembali. Administrasi kamp bersama Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) meluncurkan program resmi untuk kepulangan sukarela, sehingga proses ini tidak berjalan liar.

Perjalanan konvoi kedua ini melibatkan 55 orang, melanjutkan keberangkatan gelombang pertama yang mengangkut 10 keluarga atau sekitar 66 individu. Setiap keberangkatan didampingi tim layanan kemanusiaan yang memastikan keamanan perjalanan dan membantu kebutuhan dasar selama di jalan.

Dalam wawancara, beberapa warga mengungkapkan rasa syukur atas pelayanan yang mereka dapatkan selama bertahun-tahun di kamp. Namun, mereka juga menegaskan bahwa hidup di pengungsian tidak bisa selamanya. Pulang ke desa asal meski hancur tetap menjadi pilihan untuk memulai kembali dari awal.

Fenomena kamp seperti Al-Mahmoudli menjadi contoh positif bagaimana koordinasi mampu menciptakan jalan pulang yang aman. Program ini mengurangi tekanan di dalam kamp, sembari memberi harapan bahwa pemulihan sosial di wilayah asal dapat segera dimulai.

Namun kenyataan di lapangan tidak selalu seragam. Di beberapa tempat, kepulangan pengungsi tidak terorganisir. Banyak keluarga pulang dengan cara sendiri, membongkar tenda mereka, membawa terpal dan barang seadanya di atas kendaraan pribadi. Tidak ada konvoi resmi, tidak ada pendampingan, dan seringkali tanpa jaminan keamanan.

Kondisi itu terjadi karena tidak semua kamp mendapat dukungan penuh dari lembaga internasional maupun pemerintah. Sebagian besar bergantung pada inisiatif warga yang sudah tidak betah hidup dalam keterbatasan. Dengan biaya sendiri, mereka nekat kembali ke desa asal meski tanpa kepastian layanan dasar.

Perbedaan ini memunculkan kesenjangan besar antara kamp yang tertata dan kamp yang berantakan. Di satu sisi, kepulangan terorganisir mencerminkan upaya serius dalam membangun stabilitas. Di sisi lain, kepulangan sporadis menunjukkan lemahnya koordinasi dan minimnya perhatian terhadap kebutuhan pengungsi.

Meski demikian, keduanya memperlihatkan satu hal yang sama: kerinduan warga untuk kembali. Rumah yang hancur tetap lebih berarti daripada tenda sementara, meski itu berarti mereka harus membangun kembali dari nol.

Dalam konteks kemanusiaan, program kepulangan sukarela menjadi solusi ideal. Ia tidak memaksa pengungsi, melainkan memberi pilihan dengan dukungan logistik. Model ini juga memungkinkan pihak berwenang memantau arus kepulangan sehingga tidak menimbulkan beban baru di desa tujuan.

Sebaliknya, kepulangan liar kerap menimbulkan masalah baru. Jalanan dipenuhi konvoi kecil tak resmi, desa tujuan kebanjiran penduduk tanpa persiapan, sementara puing-puing masih menumpuk. Banyak keluarga akhirnya hidup di reruntuhan tanpa air, listrik, maupun sekolah.

Video dari Al-Mahmoudli menyoroti sisi yang lebih teratur dari realitas ini. Konvoi resmi memberi kesan adanya kepedulian, bahwa pengungsi bukan sekadar angka, tetapi manusia yang berhak pulang dengan bermartabat. Senyum dan doa para warga yang naik ke kendaraan menjadi simbol harapan baru.

Kepulangan bertahap ini juga diharapkan mempercepat rekonstruksi desa asal. Semakin banyak warga yang pulang, semakin besar tenaga kerja yang tersedia untuk membangun kembali rumah, ladang, dan pasar. Pemerintah lokal berharap arus balik ini bisa menghidupkan kembali daerah yang lama ditinggalkan.

Namun tetap ada catatan penting. Kepulangan tidak boleh hanya menjadi seremonial pelepasan konvoi. Tanpa dukungan nyata di desa asal, pengungsi akan kembali menghadapi penderitaan baru. Rekonstruksi infrastruktur dasar menjadi kunci agar kepulangan benar-benar berarti.

Dalam wawancara singkat, beberapa warga mengaku siap bekerja keras meski rumah mereka rata dengan tanah. “Kami akan membangunnya kembali dengan tangan kami sendiri,” kata seorang pria paruh baya. Tekad itu mencerminkan semangat warga Suriah yang ingin keluar dari lingkaran pengungsian.

Kamp Al-Mahmoudli hanyalah satu contoh dari ratusan kamp di Suriah. Namun cerita keberangkatan konvoi resmi ini memberi gambaran bagaimana perbedaan sistem dapat menentukan nasib pengungsi. Di kamp yang teratur, pulang bisa menjadi awal kehidupan baru. Di kamp yang kacau, pulang bisa menjadi tantangan lain yang penuh risiko.

Bagi masyarakat internasional, kisah ini adalah pengingat bahwa tanggung jawab belum selesai. Membantu pengungsi tidak berhenti di kamp, tetapi juga harus berlanjut hingga mereka bisa hidup layak kembali di rumah sendiri.

Akhirnya, perbedaan antara pulang teratur dan pulang sporadis menyoroti satu hal utama: semua pengungsi ingin kembali. Yang membedakan hanyalah seberapa besar dunia memberi mereka jalan yang aman, bermartabat, dan penuh harapan untuk memulai hidup dari awal.

Tidak ada komentar:

Post Bottom Ad

Pages