Dalam beberapa tahun terakhir, Suriah berada pada dilema strategis mengenai ke mana arah kebijakan ekonominya harus dibawa. Setelah perang panjang yang menghancurkan infrastruktur dan menyusutkan basis produksi, negeri itu dihadapkan pada pilihan: mempertahankan kekhasan ekonominya sendiri atau mengintegrasikan diri dengan kekuatan ekonomi regional seperti Turki, Irak, atau bahkan Yordania.
Di wilayah barat laut Suriah, pengalaman pemerintahan penyelamat (Salvation Government/SG) di Idlib menunjukkan bahwa integrasi ekonomi dengan Turki mampu memberikan napas segar. Masuknya produk-produk Turki, penggunaan lira sebagai alat transaksi, serta keterhubungan jalur perdagangan membuat roda ekonomi lebih aktif. Para pedagang di pasar Idlib merasakan dampaknya dengan meningkatnya perputaran barang dan ketersediaan kebutuhan pokok.
Tidak berbeda jauh, pemerintahan interim (Syrian Interim Government/SIG) di Azaz juga pernah melangkah ke arah yang sama. Integrasi ekonomi dengan Turki membuat kawasan itu relatif stabil secara komoditas dan lebih terbuka bagi investasi kecil-menengah. Walaupun masih ada kendala politik, bukti lapangan menunjukkan integrasi ini menahan laju keterpurukan.
Kondisi lain dapat dilihat di timur laut Suriah, wilayah yang dikuasai oleh SDF. Di sana, integrasi ekonomi dilakukan dengan Kurdistan Irak. Jalur perdagangan terbuka lebar, terutama untuk kebutuhan bahan bakar dan produk pertanian. Hubungan lintas perbatasan ini memberi keuntungan bagi kedua belah pihak, meski tetap terikat pada dinamika politik antara Erbil, Bagdad, dan Damaskus.
Namun demikian, para pengamat menilai setiap bentuk integrasi memiliki sisi positif sekaligus risiko. Integrasi dengan Turki memberikan stabilitas jangka pendek, tetapi menimbulkan kekhawatiran dominasi ekonomi yang bisa mengikis kemandirian Suriah. Produk lokal berpotensi tersisih oleh barang impor murah, sementara industri dalam negeri sulit bangkit.
Di sisi lain, kedekatan ekonomi dengan Irak memiliki potensi besar karena kedua negara memiliki kesamaan sejarah, budaya, dan pasar yang saling melengkapi. Irak membutuhkan pasokan produk pertanian dan manufaktur ringan, sementara Suriah bisa mengandalkan minyak dan energi dari Irak. Hubungan semacam ini dinilai lebih seimbang dibanding dengan Turki.
Yordania juga menjadi opsi yang kerap diperhitungkan. Letaknya yang strategis di selatan serta akses ke jalur perdagangan global melalui pelabuhan Aqaba memberikan peluang besar bagi Suriah untuk kembali menjadi pusat transit. Namun, kapasitas ekonomi Yordania terbatas dan pengaruh politik regionalnya tidak sekuat Turki atau Irak.
Dalam pandangan sejumlah ekonom, mempertahankan kekhasan ekonomi Suriah juga bukan pilihan yang mudah. Setelah bertahun-tahun perang, kemampuan produksi domestik turun drastis. Pabrik-pabrik banyak yang hancur, tenaga kerja terpaksa bermigrasi, dan jaringan distribusi dalam negeri terputus. Tanpa dukungan eksternal, upaya untuk benar-benar mandiri tampak sangat berat.
Meski begitu, ada argumen bahwa menjaga kemandirian adalah jalan terbaik untuk jangka panjang. Dengan mengandalkan sektor pertanian, sumber daya alam, dan rekonstruksi industri kecil, Suriah dapat mengurangi ketergantungan pada negara lain. Hal ini dipandang penting agar keputusan politik tetap bebas dari intervensi ekonomi eksternal.
Sejumlah pejabat Suriah berulang kali menegaskan bahwa integrasi ekonomi tidak boleh berarti kehilangan kedaulatan. Kerja sama dengan negara tetangga tetap penting, namun harus dalam kerangka yang saling menguntungkan, bukan dominasi sepihak. Oleh sebab itu, diskusi mengenai mitra ekonomi ideal masih terus berlangsung.
Turki jelas menawarkan kekuatan pasar dan modal yang besar. Namun, hubungan politik yang kerap tegang membuat sebagian kalangan di Damaskus menolak ketergantungan penuh pada Ankara. Ada kekhawatiran bahwa ekonomi bisa dijadikan alat tekanan politik dalam setiap negosiasi.
Irak, meski memiliki potensi stabilitas ekonomi bersama Suriah, masih terjebak dalam dinamika internal antara pemerintah pusat dan Kurdistan. Kondisi ini membuat jalur perdagangan kadang lancar, kadang tersendat. Suriah harus berhitung matang sebelum menambatkan nasib ekonominya pada Baghdad atau Erbil.
Sementara Yordania, dengan sikap politik yang relatif netral, bisa menjadi mitra penting untuk menghubungkan Suriah dengan pasar dunia Arab. Namun, skala ekonominya yang kecil membuat Yordania lebih cocok sebagai pintu gerbang, bukan mitra utama.
Pilihan strategis bagi Suriah kemungkinan bukan hanya satu arah. Banyak pakar menilai Suriah sebaiknya mengadopsi strategi “multi-integrasi”, yakni membangun hubungan ekonomi dengan beberapa negara sekaligus. Dengan cara ini, ketergantungan dapat ditekan, sementara fleksibilitas tetap terjaga.
Sebagai contoh, Suriah bisa memanfaatkan Turki untuk akses pasar industri ringan, Irak untuk kerja sama energi dan pangan, serta Yordania untuk jalur ekspor ke dunia Arab. Pendekatan diversifikasi ini diyakini lebih realistis ketimbang mengikatkan diri hanya pada satu mitra.
Kendati demikian, jalan menuju integrasi yang sehat tidak mudah. Korupsi, birokrasi, dan pengaruh militer dalam urusan ekonomi menjadi hambatan besar. Selain itu, sanksi internasional terhadap rezim Suriah juga membuat kerja sama ekonomi dengan negara tetangga sering terbentur aturan global.
Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah aspirasi masyarakat lokal. Banyak warga Suriah yang menginginkan harga barang stabil dan lapangan kerja baru. Mereka lebih peduli pada kesejahteraan sehari-hari daripada tarik menarik geopolitik antarnegara. Pemerintah harus mendengar suara rakyat jika ingin kebijakan ekonominya berhasil.
Dengan kondisi yang terus berubah, arah ekonomi Suriah akan menjadi salah satu indikator penting masa depan negara itu. Apakah Suriah mampu bangkit dengan kekuatan sendiri, atau akan lebih memilih menjadi bagian dari orbit ekonomi regional tertentu?
Hingga kini, belum ada jawaban pasti. Namun jelas bahwa pilihan ekonomi Suriah akan memengaruhi bukan hanya rakyatnya, tetapi juga keseimbangan politik di kawasan Timur Tengah. Persimpangan ini menjadi penentu jalan panjang rekonstruksi dan stabilitas negeri yang masih berjuang keluar dari puing-puing perang.
Pada akhirnya, apakah lebih baik mempertahankan kekhasan ekonomi atau mengintegrasikan diri dengan Turki, Irak, maupun Yordania, hanya waktu yang akan membuktikan. Yang pasti, setiap pilihan memiliki konsekuensi yang harus ditanggung, baik oleh pemerintah maupun oleh rakyat Suriah sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar